Minggu, 04 Oktober 2015

Pelaksanaan Putusan Pengadilan

Pelaksanaan Putusan Pengadilan

Pelaksanaan putusan pengadilan adalah realisasi dari apa yang merupakan kewajiban dari pihak yang dikalahkan untuk memenuhi suatu prestasi , yang merupakan hak dari pihak yang dimenangkan, sebagaimana tercantum dalam putusan pengadilan.
Pelaksanaan putusan pengadilan yang sudah mempunyai kekuatan hukum tetap harus dilaksanakan suka rela oleh pihak yang dihukum (dikalahkan), jika tidak dilaksanakan maka akan dilakukan secara paksa oleh panitera dan juru sita dipimpin oleh  Ketua Pengadilan Negeri  (Pasal 60 dan Pasal 65 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986, Pasal 195 ayat (1) HIR/Pasal 206 ayat (1) RBg)
Macam-macam pelaksanaan putusan :
  1. Pelaksanaan putusan yang menghukum seseorang untuk membayar sejumlah uang, diatur dalam Pasal 197 HIR/Pasal 208 RBg, yaitu dengan cara melakukan penjualan lelang terhadap barang-barang milik pihak yang kalah perkara, sampai mencukupi jumlah uang yang harus dibayar menurut putusan pengadilan yang dilaksanakan, ditambah biaya yang dikeluarkan guna pelaksanaan putusan tersebut.
  2. Pelaksanaan putusan yang menghukum seseorang untuk melakukan suatu perbuatan, pelaksanaan putusan ini diatur pada Pasal 225 HIR/Pasal 259 RBg, yang menentukan bahwa apabila seseorang yang dihukum untuk melakukan suatu perbuatan, tidak melakukan perbuatan itu dalam tenggang waktu yang ditentukan, pihak yang dimenangkan dalam putusan itu dapat meminta kepada Ketua Pengadilan Negeri  agar perbuatan yang sedianya dilakukan/dilaksanakan  oleh pihak yang kalah perkara itu dinilai dengan sejumlah uang.
  3. Pelaksanaan putusan yang menghukum seseorang untuk mengosongkan barang tetap. Pelaksanaan putusan ini sering disebut dengan istilah eksekusi riil. Eksekusi riil ini tidak diatur dalam HIR maupun RBg tetapi banyak dilakukan dalam praktek.
 Penyandraan
Penyandraan (gijzeling) adalah memasukan kedalam penjara orang yang telah dihukum oleh putusan pengadilan untuk membayar sejumlah uang, tetapi tidak melaksanakan putusan tersebut dan tidak ada atau tidak cukup mempunyai barang yang dapat disita eksekusi.
Penyanderaan dalam perkara perdata ini diatur dalam Pasal 209 s/d Pasal 224 HIR/Pasal 242 s/d Pasal 257 RBg.
Karena penyanderaan itu dirasa tidak adil  maka Mahkamah Agung dengan Surat Edaran Nomor 2 Tahun 1964 tanggal 22 Januari 1964 mengintruksikan  kepada semua Ketua Pengadilan Tinggi dan Pengadilan Negeri seluruh Indonesia untuk tidak mempergunakan lagi peraturan-peraturan mengenai sandera (gijzeling). Kemudian dengan Surat Edaran Nomor 04 Tahun 1975 tanggal 1 Desember 1975 Mahkamah Agung menegaskan kembali isi Surat Edaran Nomor 2 Tahun 1964 tanggal 22 Januari 1964 untuk tidak menggunakan lembaga  gijzeling, mengingat Pasal 33 Undang-Undang Pokok Kekuasaan Kehakiman yang menghendaki pelaksanaan putusan dengan tidak meninggalkan peri kemanusiaan.
Namun dengan pertimbangan sebagai mana diungkapkan Prof. Dr. Sudikno Mertokusumo, S.H., dalam bukunya Hukum Acara Perdata Indonesia mengemukakan :
“Didalam praktek tidak jarang terjadi, debitur yang dikalahkan atau akan dikalahkan dalam perkara dipengadilan, jauh sebelumnya telah mengalihkan harta kekayaannya kepada saudaranya atau orang lain dengan maksud untuk menghindarkan harta kekayaan tersebut dari penyitaan. Dengan demikian, si dibetur tampaknya sebagai orang yang miskin, tetapi sesungguhnya tidak. Mengigat hal semacam ini lembaga sandera kiranya masih perlu dipertahankan, namun penerapannya harus hati-hati.”[i]
Sejalan dengan pikiran Prof. Dr. Sudikno Mertokusumo, S.H. tersebut Mahkamah Agung kemudian mengeluarkan  Peraturan Nomor 1 Tahun 2000 tentang Lembaga Paksa Badan tanggal 30 Juni 2000 yang mencabut Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 1964 dan Nomor 04 Tahun 1975. Berdasarkan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2000 ini, debitur (dan ahli waris yang telah menerima warisan dari debitur), menanggung, atau penjamin hutang yang mampu, tetapi tidak mau memenuhi kewajibannya untuk membayar hutang-hutangnya (minimal Rp. 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah)) dapat dikenakan paksa badan.

Selasa, 30 Juni 2015

macam macam prikatan

1. Sumber – Sumber Perikatan
Sumber Perikatan ada 2 (dua) yaitu
a.   Perjanjian
b.   Undang-Undang

-          Dalam Perikatan yang timbul karena Perjanjian, kedua pihak debitur dan kreditur dengan sengaja bersepakat saling mengikatkan diri, dalam Perikatan mana kedua pihak mempunyai hak dan kewajiban yang harus dipenuhi. Pihak debitur wajib memenuhi prestasi dan pihak kreditur berhak atas prestasi.
-          Dalam Perikatan yang timbul karena Undang-Undang, hak dan kewajiban debitur dan kreditur ditetapkan oleh Undang-Undang. Pihak debitur dan kreditur wajib memenuhi ketentuan Undang-Undang. Undang-Undang mewajibkan debitur berprestasi dan kreditur berhak atas prestasi. Kewajiban ini disebut kewajiban Undang-Undang. Jika kewajiban tidak dipenuhi, berarti pelanggaran Undang-Undang.
Menurut Pasal 1352 KUHPerdata, perikatan yang timbul karena undang-undang diperinci menjadi 2 (dua) :
a)   Perikatan semata-mata ditentukan Undang-Undang
b)   Perikatan yang timbul karena perbuatan orang, dibagi :
·         Perbuatan menurut Hukum (Rechtmatigdaad.
·         Perbuatan Melanggar Hukum (Onrechtmatigdaad).

   2. Jenis-Jenis Perikatan
(1)   Perikatan Bersyarat
(2)   Perikatan Dengan Ketetapan Waktu
(3)   Perikatan Manasuka (boleh pilih)
(4)   Perikatan Tanggung Menanggung
(5)   Perikatan yang dapat dan tidak dapat dibagi
(6)   Perikatan dengan Ancaman Hukuman

ad. (1)         Perikatan Bersyarat
Perikatan Bersyarat (voorwardelijk verbintenis) adalah Perikatan yang digantungkan pada syarat. Syarat itu adalah suatu peristiwa yang masih akan terjadi dan belum pasti terjadinya, baik dengan menangguhkan pelaksanaan perikatan hingga terjadi peristiwa, maupun dengan membatalkan perikatan karena terjadi atau tidak terjadinya peristiwa tersebut (Pasal 1253 KUHPerdata). Dari ketentuan Pasal ini dapat dibedakan dua perikatan bersyarat yaitu :
a.   Perikatan dengan syarat tangguh
Apabila  syarat “peristiwa” yang dimaksudkan itu terjadi, maka Perikatan dlaksanakan (Pasal 1263 KUHPerdata). Jadi, sejak peristiwa itu terjadi, kewajiban debitur untuk berprestasi segera dilaksanakan.
b.   Perikatan dengan syarat batal
Di sini justru perikatan yang sudah ada akan berakhir apabila “peristiwa” yang dimaksudkan itu terjadi (Pasal 1265 KUHPerdata).



ad. (2)         Perikatan Dengan Ketetapan Waktu
Suatu ketetapan waktu tidak menangguhkan perikatan, melainkan hanya menangguhkan pelaksanaannya. Maksud syarat “ketepatan waktu” ialah pelaksanaan perikatan itu digantungkan pada “waktuu yang ditetapkan”. Waktu yang ditetapkan itu adalah peristiwa yang masih akan terjadi dan terjadinya itu sudah pasti, atau dapat berupa tanggal yang sudah ditetapkan.
Misalnya A berjanji kepada anak perempuannya yang telah kawin itu untuk memberikan rumahnya, apabila bayi yang sedang dikandungnya itu telah lahir.
Dalam perikatan dengan ketepatan waktu, apa yang harus dibayar pada waktu yang ditentukan tidak dapat ditagih sebelum waktu itu tiba. Tetapi apa yang telah dibayar sebelum waktu itu tiba tidak dapat diminta kembali (Pasal 1269 KUHPerdata).


ad. (3)         Perikatan Manasuka (boleh pilih)
Dalam perikatan manasuka, objek prestasi ada dua macam benda. Dikatakan perikatan manasuka, karena debitur boleh memenuhi prestasi dengan memilih salah satuu dari dua benda yang dijadikan objek perikatan. Tetapi debitur tidak dapat memaksa kreditur untuk menerima sebagian benda yang satu dan sebagian benda yang lainnya. Jika debitur telah memenuhi salah satu dari dua benda yang disebutkan dalam perikatan, ia dibebaskan dan perikatan berakhir. Hak memilih prestasi itu ada pada debitur, jika hak ini tidak secara tegas diberikan kepada kreditur (Pasal 1272 dan 1273 KUHPerdata).

ad. (4)         Perikatan Tanggung Menanggung
Dalam perikatan tanggung menanggung dapat terjadi seorang debitur berhadapan dengan beberapa orang kreditur, atau seorang kreditur berhadapan dengan beberapa orang debitur. Apabila kreditur terdiri dari beberapa orang, ini disebut tanggung menanggung aktif. Dalam hal ini setiap kreditur berhak atas pemenuhan prestasi seluruh hutang, dan jika prestasi tersebut sudah dipenuhi, debitur dibebaskan dari hutangnya dan perikatan hapus (Pasal 1278 KUHPerdata).

ad. (5)         Perikatan yang dapat dan tidak dapat dibagi
Suatu perikatan dikatakan dapat atau tidak dapat dibagi apabila benda yang menjadi objek perikatan dapat atau tidak dapat dibagi menurut imbangan, lagi pula pembagian itu tidak boleh mengurangi hakikat dari prestasi tersebut. Jadi, sifat dapat atau tidak dapat dibagi itu didasarkan pada :
a.   Sifat benda yang menjadi objek perikatan,
b.   Maksud perikatannya, apakah itu dapat atau tidak dapat dibagi.
Persoalan dapat atau tidak dapat dibagi itu mempunyai arti apabila dalam perikatan itu terdapat lebih dari seorang debitur atau lebih dari seorang kreditur. Jika hanya seorang kreditur saja dalam perikatan itu, maka perikatan itu dianggap sebagai tidak dapat dibagi, meskipun prestasinya dapat dibagi. Menurut ketentuan Pasal 1390 KUHPerdata, tak seorang debitur pun dapat memaksa kreditur menerima pembayaran hutangnya sebagian demi sebagian, meskipun hutang itu dapat dibagi-bagi.

ad. (6)         Perikatan dengan Ancaman Hukuman
Perikatan ini memuat suatu ancaman hukuman terhadap debitur apabila ia lalai memenuhi prestasinya. Ancaman hukuman ini bermaksud untuk memberikan suatu kepastian atas pelaksanaan isi perikatan seperti yang telah ditetapkan dalam perjanjian yang dibuat oleh pihak-pihak. Di samping itu juga sebagai usaha untuk menetapkan jumlah ganti kerugian jika betul-betul terjadi wanprestasi. Hukuman itu merupakan pendorong debitur untuk membebaskan kreditur dari pembuktian tentang besarnya ganti kerugian yang telah dideritanya.

Menurut ketentuan PAsal 1304 KUHPerdata, ancaman hukukam itu ialah untuk melakukan sesuatu apabila perikatan tidak dipenuhi, sedangkan penetapan hukuman itu adalah sebagai ganti kerugian karena tidak dipenuhinya prestasi (Pasal 1307 KUHPerdata). Ganti kerugian selalu berupa uang. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa ancaman hukuman itu berupa ancaman pembayaran denda. Pembayaran denda sebagai ganti kerugian tidak dapat dituntut oleh kreditur apabila tidak berprestasi debitur itu karena adanya keadaan memaksa .

macam macam prikatan

1. Sumber – Sumber Perikatan
Sumber Perikatan ada 2 (dua) yaitu
a.   Perjanjian
b.   Undang-Undang

-          Dalam Perikatan yang timbul karena Perjanjian, kedua pihak debitur dan kreditur dengan sengaja bersepakat saling mengikatkan diri, dalam Perikatan mana kedua pihak mempunyai hak dan kewajiban yang harus dipenuhi. Pihak debitur wajib memenuhi prestasi dan pihak kreditur berhak atas prestasi.
-          Dalam Perikatan yang timbul karena Undang-Undang, hak dan kewajiban debitur dan kreditur ditetapkan oleh Undang-Undang. Pihak debitur dan kreditur wajib memenuhi ketentuan Undang-Undang. Undang-Undang mewajibkan debitur berprestasi dan kreditur berhak atas prestasi. Kewajiban ini disebut kewajiban Undang-Undang. Jika kewajiban tidak dipenuhi, berarti pelanggaran Undang-Undang.
Menurut Pasal 1352 KUHPerdata, perikatan yang timbul karena undang-undang diperinci menjadi 2 (dua) :
a)   Perikatan semata-mata ditentukan Undang-Undang
b)   Perikatan yang timbul karena perbuatan orang, dibagi :
·         Perbuatan menurut Hukum (Rechtmatigdaad.
·         Perbuatan Melanggar Hukum (Onrechtmatigdaad).

   2. Jenis-Jenis Perikatan
(1)   Perikatan Bersyarat
(2)   Perikatan Dengan Ketetapan Waktu
(3)   Perikatan Manasuka (boleh pilih)
(4)   Perikatan Tanggung Menanggung
(5)   Perikatan yang dapat dan tidak dapat dibagi
(6)   Perikatan dengan Ancaman Hukuman

ad. (1)         Perikatan Bersyarat
Perikatan Bersyarat (voorwardelijk verbintenis) adalah Perikatan yang digantungkan pada syarat. Syarat itu adalah suatu peristiwa yang masih akan terjadi dan belum pasti terjadinya, baik dengan menangguhkan pelaksanaan perikatan hingga terjadi peristiwa, maupun dengan membatalkan perikatan karena terjadi atau tidak terjadinya peristiwa tersebut (Pasal 1253 KUHPerdata). Dari ketentuan Pasal ini dapat dibedakan dua perikatan bersyarat yaitu :
a.   Perikatan dengan syarat tangguh
Apabila  syarat “peristiwa” yang dimaksudkan itu terjadi, maka Perikatan dlaksanakan (Pasal 1263 KUHPerdata). Jadi, sejak peristiwa itu terjadi, kewajiban debitur untuk berprestasi segera dilaksanakan.
b.   Perikatan dengan syarat batal
Di sini justru perikatan yang sudah ada akan berakhir apabila “peristiwa” yang dimaksudkan itu terjadi (Pasal 1265 KUHPerdata).



ad. (2)         Perikatan Dengan Ketetapan Waktu
Suatu ketetapan waktu tidak menangguhkan perikatan, melainkan hanya menangguhkan pelaksanaannya. Maksud syarat “ketepatan waktu” ialah pelaksanaan perikatan itu digantungkan pada “waktuu yang ditetapkan”. Waktu yang ditetapkan itu adalah peristiwa yang masih akan terjadi dan terjadinya itu sudah pasti, atau dapat berupa tanggal yang sudah ditetapkan.
Misalnya A berjanji kepada anak perempuannya yang telah kawin itu untuk memberikan rumahnya, apabila bayi yang sedang dikandungnya itu telah lahir.
Dalam perikatan dengan ketepatan waktu, apa yang harus dibayar pada waktu yang ditentukan tidak dapat ditagih sebelum waktu itu tiba. Tetapi apa yang telah dibayar sebelum waktu itu tiba tidak dapat diminta kembali (Pasal 1269 KUHPerdata).


ad. (3)         Perikatan Manasuka (boleh pilih)
Dalam perikatan manasuka, objek prestasi ada dua macam benda. Dikatakan perikatan manasuka, karena debitur boleh memenuhi prestasi dengan memilih salah satuu dari dua benda yang dijadikan objek perikatan. Tetapi debitur tidak dapat memaksa kreditur untuk menerima sebagian benda yang satu dan sebagian benda yang lainnya. Jika debitur telah memenuhi salah satu dari dua benda yang disebutkan dalam perikatan, ia dibebaskan dan perikatan berakhir. Hak memilih prestasi itu ada pada debitur, jika hak ini tidak secara tegas diberikan kepada kreditur (Pasal 1272 dan 1273 KUHPerdata).

ad. (4)         Perikatan Tanggung Menanggung
Dalam perikatan tanggung menanggung dapat terjadi seorang debitur berhadapan dengan beberapa orang kreditur, atau seorang kreditur berhadapan dengan beberapa orang debitur. Apabila kreditur terdiri dari beberapa orang, ini disebut tanggung menanggung aktif. Dalam hal ini setiap kreditur berhak atas pemenuhan prestasi seluruh hutang, dan jika prestasi tersebut sudah dipenuhi, debitur dibebaskan dari hutangnya dan perikatan hapus (Pasal 1278 KUHPerdata).

ad. (5)         Perikatan yang dapat dan tidak dapat dibagi
Suatu perikatan dikatakan dapat atau tidak dapat dibagi apabila benda yang menjadi objek perikatan dapat atau tidak dapat dibagi menurut imbangan, lagi pula pembagian itu tidak boleh mengurangi hakikat dari prestasi tersebut. Jadi, sifat dapat atau tidak dapat dibagi itu didasarkan pada :
a.   Sifat benda yang menjadi objek perikatan,
b.   Maksud perikatannya, apakah itu dapat atau tidak dapat dibagi.
Persoalan dapat atau tidak dapat dibagi itu mempunyai arti apabila dalam perikatan itu terdapat lebih dari seorang debitur atau lebih dari seorang kreditur. Jika hanya seorang kreditur saja dalam perikatan itu, maka perikatan itu dianggap sebagai tidak dapat dibagi, meskipun prestasinya dapat dibagi. Menurut ketentuan Pasal 1390 KUHPerdata, tak seorang debitur pun dapat memaksa kreditur menerima pembayaran hutangnya sebagian demi sebagian, meskipun hutang itu dapat dibagi-bagi.

ad. (6)         Perikatan dengan Ancaman Hukuman
Perikatan ini memuat suatu ancaman hukuman terhadap debitur apabila ia lalai memenuhi prestasinya. Ancaman hukuman ini bermaksud untuk memberikan suatu kepastian atas pelaksanaan isi perikatan seperti yang telah ditetapkan dalam perjanjian yang dibuat oleh pihak-pihak. Di samping itu juga sebagai usaha untuk menetapkan jumlah ganti kerugian jika betul-betul terjadi wanprestasi. Hukuman itu merupakan pendorong debitur untuk membebaskan kreditur dari pembuktian tentang besarnya ganti kerugian yang telah dideritanya.

Menurut ketentuan PAsal 1304 KUHPerdata, ancaman hukukam itu ialah untuk melakukan sesuatu apabila perikatan tidak dipenuhi, sedangkan penetapan hukuman itu adalah sebagai ganti kerugian karena tidak dipenuhinya prestasi (Pasal 1307 KUHPerdata). Ganti kerugian selalu berupa uang. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa ancaman hukuman itu berupa ancaman pembayaran denda. Pembayaran denda sebagai ganti kerugian tidak dapat dituntut oleh kreditur apabila tidak berprestasi debitur itu karena adanya keadaan memaksa .